Saturday 22 August 2015

22

Oh, Karyo

Seperti biasa, aku selalu merapikan meja tempat kamu menghabiskan setengah dari harimu. Aku tahu jika bukan hanya mejamu yang aku rapikan setiap pagi buta, ada puluhan bahkan ratusan. Aku tidak peduli, anggap saja aku berbaik hati untuk merapikan meja-meja lain, yang terpenting mejamu sudah paling siap.

Aku mengamati dari kejauhan. Hampir semua karyawan telah memulai kegiatan kerja, tapi aku tidak melihat tempatmu terisi oleh ragamu yang duduk manis seperti biasanya. Aku mencari walau terbatas oleh pandangan mata.

“Karyo... , kopi tapi gulanya dikit aja, ya.”

“Iya, Pak. Tunggu sebentar, ya.”

Pak Boni hari ini bertindak sedikit agak lancang. Seharusnya kamu yang lebih berhak aku layani terlebih dahulu, bukan dia. Pak Boni memesan kopi persis seperti yang kamu pesan setiap pagi, kopi dengan sedikit gula, tidak terlalu pahit dan tidak terlalu manis. Pas.

“Ini kopinya, Pak. Ngomong-ngomong Mbak Dilla kemana, kok, gak kelihatan, Pak?”

“Katanya hari ini dia ijin gak masuk, saudaranya ada yang nikah.” Jawab Pak Boni sambil menyambut secangkir kopi.

Aku kurang beruntung hari ini, Mungkin esok hari. 

***

Hari ini sepertinya aku benar-benar beruntung. Aku melihat ragamu kembali duduk manis di tempatmu yang kemarin kosong, lengkap dengan wajah yang ayu. Kamu tidak pernah bosan untuk terlihat cantik.

“Pagi Mbak Dilla, ini kopinya.”

“Eh Karyo... , makasih, ya.” Aku disambut senyum.

“Gulanya sedikit, tidak terlalu pahit, tidak terlalu manis.”

“Pas. Hehehe.”

Aku merasa orang paling berhak menerima senyum darimu, aku harap kamu juga. Disaat kamu terlalu sibuk memandangi layar komputer, tanpa kamu sadari aku mengelilingimu dengan pandanganku, lengkap dengan kemampuan mengintai layaknya seorang mata-mata dari agen intelejen rahasia. Kamu tidak perlu takut atau khawatir, sedikitpun aku tidak ingin kamu merasakannya, tetaplah duduk dengan manis.

Waktuku mungkin tidak terlalu banyak, aku mungkin akan berdosa jika telah lancang memendam rasa ini tanpa sepengetahuanmu. Apapun, sepertinya kamu harus tahu. Aku siap menerima segala resiko. Bukankah memendam suatu kejujuran sama halnya dengan membiarkan kebohongan bekerja, bekerja dan berkembang biak menjadikan akar-akar kebohongan lain? Entahlah, aku merasa seperti itu.

Pagi ini yang seharusnya cerah ternyata berlatar mendung. Sepertinya mendung ingin menemaniku mengantarkan sebuah kejujuran, kejujuran yang akan membawa pagi ini meniup mendung berubah cerah.

“Mbak Dilla, ini kopinya.”

“Iya, Yo, makasih, ya... .” Aku disambut senyum, selalu.

“Iya mbak.” Aku melihatmu meminum kopi sedikit demi sedikit, tanpa ragu.

“Manis banget ini… , kok, beda dari biasanya, Yo?”

Aku sengaja meramu kopi hari ini sedikit berbeda dari biasanya, aku memberi gula pada kopi ini lebih banyak dari hari-hari biasanya, itu karena agar bisa sedikit meredakan kenyataan pahit yang ingin aku katakan. Aku juga sudah siap dengan semua resiko yang akan terjadi. Perasaanku gugup tak karuan.

“Mbak Dilla, sepertinya saya sudah gak lama lagi disini.”

“Kenapa emang, Yo?”

“Enggak, itu mungkin kopi terakhir yang aku buat untuk Mbak Dilla, kalau misalnya mau bikin kopi seperti biasanya, di dalam kertas ini sudah saya tulis takaran-takaran yang pas.”

“Sampai segitunya, Yo.”

“Mbak, saya mau juj… ,”

“Eh, bentar… , ini undangan pernikahan aku, kamu harus dateng loh.”

“Iya, aku usahakan.”

Aku seperti api yang telah habis menuju arang setelah mendengar perkataanmu, aku harus urungkan niat jujurku. Biar aku tetap menanggung dosa dengan membiarkan kebohongan tetap bekerja. Aku tidak ingin meredupkan cerahmu dengan memberi gelapku, aku ingin kamu tetap bersinar. Akan lebih berdosa lagi jika aku merusak cerita yang telah kau tata rapi dan memaksamu untuk menulis ulang.

***

“Pak Boni, beberapa hari ini kok Karyo gak kelihatan, kemana, ya?”

“Kamu gak tau emang, Dil?”

“Kenapa?”

“Sudah keluar, kok. Dia sepertinya kacau.”

“Kacau?”

“Iya.”

“Maksudnya?”

“Kabarnya jadi buronan, dia pergi ke Suriah, dia ikut ISIS, nggak waras bocah itu.”
“… .”