Pagi itu adzan subuh telah berkumandang bersahut-sahutan. Adi
saat itu masih tertidur lelap dengan buku-buku pelajaran yang masih berserakan
di samping tubuhnya. Ibu Rumiati, seperti biasa membangunkan Adi untuk
melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumahnya.
“Adi, bangun nak…, ayo sholat subuh dulu” Ibu Rumiati mencoba
membangunkan putranya dengan menepuk-nepukkan tangannya ke pundak Adi.
“Eeeh…” Dengan wajah yang sedikit lesu Adi terbangun dengan
sedikit menguap. Dengan langkah sedikit gontai, Adi bersiap melaksanakan sholat
subuh.
Suara Ayam berkokok mulai menghiasi pagi itu. Matahari
sepertinya sudah tidak merasa malu lagi menampakkan cahayanya. Adi saat itu
mulai bergegas dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
“Adi…, Bapak…, ini sarapannya sudah siap” Ibu Rumiati
memanggil putra dan suaminya sambil mengaduk secangkir kopi untuk suaminya.
Setelah selesai sarapan, Adi mencium kedua tangan orang
tuannya. Sebuah ritual yang sering dia lakukan sebelum berangkat sekolah.
“Adi berangkat dulu ya buk, pak, Assallamuallaikum…” Teriak
Adi sambil menuntun sepedanya.
“Waalaikumsallam, belajar yang bener” Jawab Ibu Rumiati.
Adi adalah siswa kelas dua SMPN 3 Subur Makmur. Waktu yang
ditempuh Adi untuk sampai di sekolah dengan bersepeda sekitar lima belas menit.
Untuk sampai menuju sekolah, Adi harus melewati jalan raya. Saat itu Adi
berangkat bersama dengan beberapa temannya yang kebetulan berjalur searah.
Bel tanda jam istirahat telah berbunyi. Sebagian siswa mulai
berhamburan keluar dari kelas untuk menghabiskan waktu istirahatnya. Banyak
siswa yang keluar dari gerbang sekolahan untuk membeli jajanan, namun tidak
sedikit pula yang pergi ke kantin untuk sekedar mengganjal perut yang sudah
mulai lapar. Saat itu Adi hanya duduk-duduk di dalam kelas bersama teman-teman
sekelasnya, Ringgo, Arya, dan Dodit.
“Wuidih…, handphone kamu
baru lagi nih Nggo,” Goda Dodit yang melihat Ringgo yang saat itu sedang asyik
memainkan telepon genggamnya.
“Ini handphone yang baru dirilis seminggu lalu, keren banget
kamu Nggo,” Arya sedikit terkagum dengan Ringgo.
“Kalian apaan sih?, hanphone
kalian kan juga nggak kalah keren, hahaha.” Sahut Ringgo sambil tertawa.
Mendengar percakapan ke tiga temannya tadi, Adi hanya bisa
tersenyum dan sedikit ikut tertawa bersama mereka. Adi sebenarnya sudah lama
ingin memiliki handphone canggih seperti teman-temannya, namun orang tua Adi
belum sanggup untuk membelikannya.
Adi berasal dari keluarga yang sederhana. Orang tua Adi
hanyalah pedagang sayur di pasar dekat sekitar rumahnya. Berbeda dengan Ringgo,
Arya, dan Dodit, mereka berasal dari keluarga menengah ke atas, mereka selalu
mendapatkan apa yang sering mereka inginkan dengan mudah.
Siang hari, terik panas matahari menemani perjalanan pulang
dari sekolah para siswa SMPN 3 Subur Makmur. Adi mengayuh sepeda lebih cepat
dari biasanya. Dia ingin sekali lagi mencoba merayu ibunya untuk membelikan handphone canggih impiannya. Setibanya
di rumah Adi langsung menemui ibunya.
“Buk, kapan saya dibelikan hp seperti teman-teman, dari dulu
kok gak pernah diturutin” Adi sedikit memaksa.
“Oalah nak, nak… Ibu
bisa ngasih uang jajan ke kamu tiap hari aja udah bersyukur, ibu belum punya
uang sebanyak itu untuk beliin kamu hp” Jawab ibu Rumiati dengan sedikit sedih.
“Dari dulu kok cuman disuruh nunggu terus to buk, buk!” kata
Adi dengan nada tinggi.
Adi langsung pergi begitu saja menuju kamarnya dengan wajah
kesal. Nampaknya kesabaran Adi mulai habis. Dia berganti pakaian dan langsung
pergi dari rumah dengan bermodalkan sisa-sisa uang jajannya. Adi pergi menuju
jalan raya, berniat kabur dari rumah menggunakan bis. Dari kejauhan, bis yang
akan dinaiki Adi mulai terlihat. Adi melambai-lambaikan tangannya berniat untuk
menghentikan bis tadi.
“Ayo naik ayo naik yo…” Teriak kenek bis.
Adi pergi menaiki bis. Saat itu Adi tidak tahu sama sekali
tempat mana yang akan dia tuju.
Selang beberapa menit kemudian, ada seorang pengamen masuk
menaiki bis. Pengamen tersebut mulai menyanyikan lagu menggunakan gitar dengan
suara pas-pasan. Pengamen tersebut berpakaian
lusuh, terlihat tidak rapi dan berantakan. Adi memandangi pengamen itu dari
kursi bis paling belakang. Adi sedikit merenung dengan hati yang sedang kacau.
Saat rambu lampu merah di pertigaan jalan menyala, bis pun
berhenti sejenak. Adi memandangi ke pinggiran jalan melalui kaca jendela. Di
pinggiran jalan, Adi melihat seorang wanita seumuran ibunya yang sibuk melawan
terik panas matahari sedang menjajakan kerupuk dagangannya, namun terlihat
tidak ada seorangpun yang ingin membeli kerupuknya. Ibu pedagang kerupuk tadi
terlihat kelelahan. Sering kali dia mengusap keringat di wajahnya menggunakan
pundaknya, karena kedua tangannya memang sedang ia gunakan untuk mengangkati
kerupuk dagangannya.
Setelah melihat kejadian di lampu merah tadi, Adi teringat
akan ibunya dirumah.
“Pasti sekarang ibuku sedang sedih dan kebingungan mencariku”
Adi berbicara dalam hati, mengingat bahwa Adi adalah anak tunggal.
Dalam perjalanan Adi terus merenung. Setelah kurang lebih
tiga puluh menit di dalam bis, Adi berniat turun dan mencari tumpangan bis lain
untuk putar balik. Adi ingin kembali pulang kerumah, dia ingin meminta maaf
kepada ke dua orang tuanya.
“Aku termasuk anak yang beruntung memiliki keluarga yang
sederhana dan sayang kepadaku. Banyak anak lain di luar sana yang hidupnya
sangat kekurangan. Yah seperti pengamen tadi, dia seumuranku. Aku juga tidak
bisa membayangkan jika yang berjualan kerupuk tadi adalah ibuku. Mungkin aku
kurang bersyukur.” Adi bergumam dalam hati.
"Cerpen ini sebenarnya dulu saya buat untuk ngisi tugas adek saya, daripada dianggurin mending di posting (dengan sedikit perbaikan)"