Tuesday 30 September 2014

0

MUNGKIN AKU KURANG BERSYUKUR

Pagi itu adzan subuh telah berkumandang bersahut-sahutan. Adi saat itu masih tertidur lelap dengan buku-buku pelajaran yang masih berserakan di samping tubuhnya. Ibu Rumiati, seperti biasa membangunkan Adi untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid dekat rumahnya.

“Adi, bangun nak…, ayo sholat subuh dulu” Ibu Rumiati mencoba membangunkan putranya dengan menepuk-nepukkan tangannya ke pundak Adi.

“Eeeh…” Dengan wajah yang sedikit lesu Adi terbangun dengan sedikit menguap. Dengan langkah sedikit gontai, Adi bersiap melaksanakan sholat subuh.

Suara Ayam berkokok mulai menghiasi pagi itu. Matahari sepertinya sudah tidak merasa malu lagi menampakkan cahayanya. Adi saat itu mulai bergegas dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.

“Adi…, Bapak…, ini sarapannya sudah siap” Ibu Rumiati memanggil putra dan suaminya sambil mengaduk secangkir kopi untuk suaminya.

Setelah selesai sarapan, Adi mencium kedua tangan orang tuannya. Sebuah ritual yang sering dia lakukan sebelum berangkat sekolah.

“Adi berangkat dulu ya buk, pak, Assallamuallaikum…” Teriak Adi sambil menuntun sepedanya.

“Waalaikumsallam, belajar yang bener” Jawab Ibu Rumiati.

Adi adalah siswa kelas dua SMPN 3 Subur Makmur. Waktu yang ditempuh Adi untuk sampai di sekolah dengan bersepeda sekitar lima belas menit. Untuk sampai menuju sekolah, Adi harus melewati jalan raya. Saat itu Adi berangkat bersama dengan beberapa temannya yang kebetulan berjalur searah.







Bel tanda jam istirahat telah berbunyi. Sebagian siswa mulai berhamburan keluar dari kelas untuk menghabiskan waktu istirahatnya. Banyak siswa yang keluar dari gerbang sekolahan untuk membeli jajanan, namun tidak sedikit pula yang pergi ke kantin untuk sekedar mengganjal perut yang sudah mulai lapar. Saat itu Adi hanya duduk-duduk di dalam kelas bersama teman-teman sekelasnya, Ringgo, Arya, dan Dodit.

“Wuidih…, handphone kamu baru lagi nih Nggo,” Goda Dodit yang melihat Ringgo yang saat itu sedang asyik memainkan telepon genggamnya.

“Ini handphone yang baru dirilis seminggu lalu, keren banget kamu Nggo,” Arya sedikit terkagum dengan Ringgo.

“Kalian apaan sih?, hanphone kalian kan juga nggak kalah keren, hahaha.” Sahut Ringgo sambil tertawa.

Mendengar percakapan ke tiga temannya tadi, Adi hanya bisa tersenyum dan sedikit ikut tertawa bersama mereka. Adi sebenarnya sudah lama ingin memiliki handphone canggih seperti teman-temannya, namun orang tua Adi belum sanggup untuk membelikannya.

Adi berasal dari keluarga yang sederhana. Orang tua Adi hanyalah pedagang sayur di pasar dekat sekitar rumahnya. Berbeda dengan Ringgo, Arya, dan Dodit, mereka berasal dari keluarga menengah ke atas, mereka selalu mendapatkan apa yang sering mereka inginkan dengan mudah.

Siang hari, terik panas matahari menemani perjalanan pulang dari sekolah para siswa SMPN 3 Subur Makmur. Adi mengayuh sepeda lebih cepat dari biasanya. Dia ingin sekali lagi mencoba merayu ibunya untuk membelikan handphone canggih impiannya. Setibanya di rumah Adi langsung menemui ibunya.

“Buk, kapan saya dibelikan hp seperti teman-teman, dari dulu kok gak pernah diturutin” Adi sedikit memaksa.

 “Oalah nak, nak… Ibu bisa ngasih uang jajan ke kamu tiap hari aja udah bersyukur, ibu belum punya uang sebanyak itu untuk beliin kamu hp” Jawab ibu Rumiati dengan sedikit sedih.

“Dari dulu kok cuman disuruh nunggu terus to buk, buk!” kata Adi dengan nada tinggi.

Adi langsung pergi begitu saja menuju kamarnya dengan wajah kesal. Nampaknya kesabaran Adi mulai habis. Dia berganti pakaian dan langsung pergi dari rumah dengan bermodalkan sisa-sisa uang jajannya. Adi pergi menuju jalan raya, berniat kabur dari rumah menggunakan bis. Dari kejauhan, bis yang akan dinaiki Adi mulai terlihat. Adi melambai-lambaikan tangannya berniat untuk menghentikan bis tadi.

“Ayo naik ayo naik yo…” Teriak kenek bis.

Adi pergi menaiki bis. Saat itu Adi tidak tahu sama sekali tempat mana yang akan dia tuju.

Selang beberapa menit kemudian, ada seorang pengamen masuk menaiki bis. Pengamen tersebut mulai menyanyikan lagu menggunakan gitar dengan suara pas-pasan.  Pengamen tersebut berpakaian lusuh, terlihat tidak rapi dan berantakan. Adi memandangi pengamen itu dari kursi bis paling belakang. Adi sedikit merenung dengan hati yang sedang kacau.

Saat rambu lampu merah di pertigaan jalan menyala, bis pun berhenti sejenak. Adi memandangi ke pinggiran jalan melalui kaca jendela. Di pinggiran jalan, Adi melihat seorang wanita seumuran ibunya yang sibuk melawan terik panas matahari sedang menjajakan kerupuk dagangannya, namun terlihat tidak ada seorangpun yang ingin membeli kerupuknya. Ibu pedagang kerupuk tadi terlihat kelelahan. Sering kali dia mengusap keringat di wajahnya menggunakan pundaknya, karena kedua tangannya memang sedang ia gunakan untuk mengangkati kerupuk dagangannya.

Setelah melihat kejadian di lampu merah tadi, Adi teringat akan ibunya dirumah.

“Pasti sekarang ibuku sedang sedih dan kebingungan mencariku” Adi berbicara dalam hati, mengingat bahwa Adi adalah anak tunggal.

Dalam perjalanan Adi terus merenung. Setelah kurang lebih tiga puluh menit di dalam bis, Adi berniat turun dan mencari tumpangan bis lain untuk putar balik. Adi ingin kembali pulang kerumah, dia ingin meminta maaf kepada ke dua orang tuanya.

“Aku termasuk anak yang beruntung memiliki keluarga yang sederhana dan sayang kepadaku. Banyak anak lain di luar sana yang hidupnya sangat kekurangan. Yah seperti pengamen tadi, dia seumuranku. Aku juga tidak bisa membayangkan jika yang berjualan kerupuk tadi adalah ibuku. Mungkin aku kurang bersyukur.” Adi bergumam dalam hati.

"Cerpen ini sebenarnya dulu saya buat untuk ngisi tugas adek saya, daripada dianggurin mending di posting (dengan sedikit perbaikan)"







Wednesday 17 September 2014

2

Acara Hari Minggu


Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat menyenangkan menurut saya. Dimasa itulah kita sangat menikmati hidup tanpa celana. Eh maaf, “tanpa beban” maksudnya. Kenapa tanpa beban?, ketika kecil dulu kencing di celana sendiri itu sangatlah wajar, yang gak wajar itu ketika mengencingi celana orang lain. Walaupun ingus keluar dari hidung dan menyebar liar menghiasi seantero wajah, kita tetep cuek-cuek aja. Mungkin karena itu anak kecil juga disebut “Bocah Ingusan”, bayangkan jika yang keluar dari hidung kita saat itu bukanlah ingus, melainkan anak kelalawar, pasti sebutan buat anak kecil bukan bocah ingusan, melainkan bocah kampret.


Saya dulu pernah bercita-cita pengen jadi Power Rangers. Memang acara televisi pada saat itu sangat meracuni imajinasi saya. Anak yang lahir di tahun 90 –an, waktu SD (Sekolah Dangdut) dulu pasti gak asing lagi dengan acara super keren di hari Minggu. Kadang kita sering menantikan agar hari  Minggu cepat datang kembali. Bukan karena pengen libur sekolah, namun kepengen cepet-cepet nonton acara favorit. Selain bermain tentunya.





Dari mulai pagi stasiun televisi udah mulai nayangin acara anak. Memang dulu hari Minggu semua stasiun televisi sepertinya berlomba-lomba buat muasin anak-anak, termasuk anak celeng. Kebanyakan yang di tayangin sih serial Anime dan Tokusatsu seperti Kabutaku, Jiban, Kamen Raider, Janperson, Ultraman, Let’s & Go (Tamiya), Crayon Shinchan, Doraemon, Digimon, Dragon Ball, dan masih banyak lagi. Gak bisa nyebutin satu-satu deh. Dan biasanya sebelum jam dua belas akan ditutup dengan aksi Power Rangers. Asli cihuy banget.


Biasanya saya itu mudah terobsesi dengan acara Televisi yang saya sukai. Entahlah, kadang disaat nonton Power Rangers saya pengen jadi seperti Power Rangers, pas nonton film aksi langsung pengen ahli bela diri, pas nonton acara berita langsung pengen jadi jurnalis, pas nonton sepak bola langsung pengen jadi pemain karambol. Akhirnya hati ini mantap pengen jadi Sailor Moon, namun langsung digampar sama Emak.


Dulu pernah ada kejadian konyol yang berhubungan dengan cita-cita. Ini terjadi pas waktu saya masih kelas empat SD. Saat itu dirumah sedang ada tamu, waktu saya mau keluar rumah kita berpapasan, karena emang sudah saling kenal tanpa basa-basi dia langsung nanya


          “Eh, Heru nanti kalau udah gede cita-citanya kepengen jadi apa ?,” dan langsung saya jawab dengan penuh kegoblokan.


          “Ehmm, anu.. jadi Polwan.”


Duaaaaarrrrrr!!!. Langitpun menghitam, bulu ketek berhamburan kemana-mana, kita semua joget Caesar.Pada saat itu saya belum ngerti kalau Polwan itu adalah Polisi Wanita, saya kira Polwan itu Polisi Menawan. Untungnya jawaban saya tadi tidak membuat geger dunia persilatan.


Sebenarnya saya pengen banget aktif ngeblog, paling tidak setiap bulan ada satu postingan. Waktu masih SD dulu, saat ada tugas nulis karangan saya paling semangat. Sepertinya menyenangkan ngelakuin hal yang di gemaari saat masa kecil dulu. Semangat buat ngeblog ini semakin timbul dan menggebu karena lagu milik Tulus yang judulnya “Lagu Untuk Matahari”.



"Buktikan sekarang, 


Angkat penamu tulis, bila gemar menulis 

Buktikan sekarang, 

Perkeras suaramu, bila gemar bernyanyi"

Karena saya suka menulis sekaligus menyanyi, akhirnya saya nulis sambil mangap-mangap.