Saturday 17 January 2015

14

Brama Rusa

Aku lebih memilih untuk menemani Brama berburu rusa hari ini ketimbang ikut berlatih tari dengan gadis-gadis desaku. Bayangkan saja, aku harus berpura-pura tersenyum anggun, aku harus menggerakkan semua anggota badanku dengan lemah gemulai. Dengar, aku tidak seperti itu. Entah apa yang dipikirkan oleh mbok Ratmi yang selalu memaksaku untuk menjadi pilihan utama. Maafkan aku mbok, untuk hari ini aku menentangmu habis-habisan.


“Hei Astuti, apa yang membuatmu hari ini berani meninggalkan latiahan?” Brama menodongku dengan sebuah pertanyaan, persis di tengah hutan.

“Apakah salah jika aku ikut denganmu?”

“Jika ada yang bertanya mohon dijawab, berbalik tanya itu bukanlah jawaban”

“Tidak semua pertanyaan itu memiliki hukum untuk dijawab. Apa kamu tersesat?”

“Kenapa?”

“Kamu tidak malu bertanya”


“Hahaha” Brama melanjutkan perjalanannya.

Aku melihat Brama menggenggam anak panah di tangan kanannya dengan siaga. “Tenang, jangan membuat mereka curiga” Aku patuh.

Brama baru menarik sedikit anak panahnya lalu dia menghentikannya, dia menghentikan niat untuk memanah rusa layaknya mendung yang tersapu angin barat. Angin yang kencang.

“Kenapa tidak kau panah dua rusa itu?”

“Apakah aku perlu menjawabnya?”

“Tentu”. Baiklah, dia membalasku dengan rapi.

“Rusa jantan itu sedang melakukan pendekatan, aku akan sangat berdosa jika menancapkan anak panahku”

“Pendekatan ?” 

“Iya, dia sedang memperjuangkan apa yang dia inginkan”

“Apa yang dia inginkan?”

“Kamu tersesat?” Brama menghentikan pertanyaanku.

Kami melanjutkan perjalanan, kami tidak berjalan berdampingan, Brama berjalan di belakangku agar bisa mengawasiku dengan baik, dia beralasan seperti itu. Aroma dedaunan mengiringi perjalanan kami, begitu kompak dengan harum bunga. Cahaya matahari hanya mampu menembus garis-garis kecil karena terhalang oleh kerindangan. Aku selalu kagum terhadap cahaya matahari ciptaanNya, dia begitu gigih, begitu gigih mencari celah-celah kecil untuk memberi cahaya yang cukup ke kami, walaupun harus melawan ranting dan dedaunan yang siap menghadang.

“Lihat itu, ada rusa” Brama menghentikan perjalanan pelan bersamaku tepat di pinggir sungai.

“Kali ini apakah akan kau panah?”

“Tentu”

Brama mendapatkan rusa itu, anak panah tepat menancap di sisi kanan perutnya, rusa itu sudah tidak berdaya.

“Rusa itu berada di seberang sungai, bagaimana caramu untuk mengambilnya?”

“Dengan menjemputnya”

“Bukankah akan sangat berbahaya jika kita menyebrangi sungai ini?”

“Ada jalan kesana tanpa harus menyebrangi sungai”

“Tapi itu sangat jauh, seperti jarak kita ke desa”

“Jauh atau tidak itu hanya sebuah ukuran, jika itu sebuah tujuan kenapa harus menjadi alasan ?”

“Baiklah, aku ikut denganmu”

Aku tidak begitu paham dengan jalan pikir Brama, tapi perkataan dia tadi membuatku yakin seolah dia adalah penyihir yang membuat aku selalu patuh terhadap jalan pikirnya. Kami berjalan sangat jauh. Satu jam yang kami habiskan untuk menjemput tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Rusa. Selama perjalanan aku tidak pernah takut, aku selalu percaya kepadaNya bahwa Dia yang telah mengutus seorang ksatria untuk menjagaku saat ini. Brama.

“Hari ini satu rusa sudah cukup”

“Kita kembali ke desa?”

“Iya, karena sekarang sore akan datang”

“Baiklah” Aku menerima sebuah panah yang Brama berikan di tangan kananku. Dia mengambil dan menaruh seekor rusa tak bernyawa di atas bahu kanannya. Kami menuju rumah. Desa kami.

“Kamu tidak merasa lelah?” Brama bertanya kepadaku di perjalanan ini.

“Tidak”

“Perjalanan ini lumayan jauh, kita juga harus memutari hutan, kenapa kamu tidak lelah?”

“Jauh atau tidak itu hanya sebuah ukuran, jika itu sebuah tujuan kenapa harus menjadi alasan?” Aku mengulang jawaban Brama. Sama persis.

Brama merespon biasa jawabanku tadi. Sore telah datang. Sebenarnya aku merasa lelah, tapi aku tidak mau beralasan. Kami telah sampai di desa.

Aku mengenang apa yang telah aku lakukan siang tadi di malam ini. Aku sangat bahagia bisa menemani Brama berburu rusa. Mungkin aku hanyalah beban, tapi itu tidak aku pedulikan. Aku merasa kasihan terhadap Brama, malam ini ayahnya marah besar. Brama ketahuan tidak membayar SPP kuliahnya.